Membangun Jejaring Sosial dalam Kesepian
Movie Review Tue, 09 Nov 2010 14:46:00 WIB
Kelihatannya pengguna Facebook harus berterima kasih pada Erica. Wanita inilah yang membuka The Social Network dalam adegan kencannya dengan Mark Zuckerberg. Sang pendiri Facebook menyesap bir dengan gugup dan berbicara dengan cepat. Mungkin ia merasa mengobrol dengan gadis itu, padahal sebenarnya ia menginterogasi sang pemudi dengan agresif. Lama-kelamaan Erica jadi muak, menyebutnya bajingan, dan pergi.
Adegan pembuka yang sadis! Adegan percakapan Erica dan Zuckerberg di kafe kampus itu adalah permainan kata-kata yang nyaris tidak memberikan ruang bagi penonton untuk menarik napas. Sensasinya sama-lah seperti opening scene Inglorious Basterds.
Erica (Rooney Mara) adalah tokoh fiktif. Barangkali inilah alasan kenapa Marc Zuckerberg yang asli tidak mendukung film ini, mengatakannya tidak akurat. Tapi sepertinya film ini memang tidak bermaksud menjadi biopic Mark Zuckerberg. Pasalnya, The Social Network adaptasi dari buku tulisan Ben Mezrich, The Accidental Billionaires, yang mengisahkan sejarah penciptaan Facebook, bukan semata berupa biografi orang yang diklaim sebagai penemunya.
Terlepas dari berapa banyak akurasi yang tersaji di film ini, The Social Network film yang bagus. Selayaknya tetralogi Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, yang terlepas dari apakah cerita di dalamnya 100% akurat atau tidak, tetap menjadi karya mumpuni yang menginspirasi.
Oke, sekarang kita balik ke adegan selepas Erica meninggalkan Zuckerberg tadi. Sepeninggal gadis manis itu, Zuckerberg si mahasiswa Harvard balik ke asramanya. Ia minum lebih banyak bir, dan mulai menerobos situs internal asrama Harvard untuk mengambil foto-foto close up para mahasiswinya. Kemudian ia memprogram sebuah situs di mana para warga Harvard bisa membandingkan mahasiswi mana yang paling cantik. Hal itu dilakukan Zuckerberg sambil nge-blog tentang kekesalannya pada Erica.
Kelakuan Zuckerberg itu memang kekanak-kanakan, seksis dan ilegal. Tapi situs yang dibuat hanya dalam beberapa jam itu terbukti menarik ribuan peminat (hanya dalam waktu 2 jam) sehingga menyebabkan server Harvard crash.
Kehebohan yang dibuatnya itu lantas menarik perhatian Cameron dan Tyler Winklevoss (keduanya diperankan oleh Armie Hammer). Pasangan abang-beradik kembar ini atlet dayung Harvard yang mengajak Zuckerberg memprogram situs yang akan diberi nama The Harvard Connection. Selain si kembar tampan ini, ada juga sahabat mereka Divya Narendra (Max Minghella) — yang kalau dilihat-lihat tampangnya kok mirip Olga, ya?
Anyway. Sekembalinya dari meeting singkat dengan ketiga orang itu, Zuckerberg balik ke asramanya, dan malah mengembangkan situs lain yang idenya terinspirasi dari The Harvard Connection tadi. Ya, situs itulah yang kini kita kenal sebagai Facebook. Hanya saja, pada waktu itu namanya masih TheFacebook.
Zuckerberg boleh saja menjadi otak di balik Facebook. Tapi ia tidak mewujudkannya sendirian. Untuk soal modal, ia didukung penuh oleh Eduardo ‘Wardo’ Saverin, teman sekamar sekaligus satu-satunya sahabat yang dimilikinya. Kesuksesan TheFacebook di Harvard membuat Zuckerberg dan Wardo mendadak jadi idola gadis-gadis. Wardo malah dapat undangan dari perkumpulan mahasiswa ter-penting di Harvard, yang sudah lama diimpikannya.
Berbanding terbalik dengan gadis-gadis Harvard yang woro-woro mengincar pasangan sahabat ini, si kembar Cameron-Tyler dan Divya malah geram bukan main atas popularitas TheFacebook. Wajar-lah, mengingat Zuckerberg mendadak menghilang setelah pertemuan dengan mereka tempo hari. Wajar pula kalau belakangan mereka menuding mahasiswa culun itu mencuri ide TheFacebook dari mereka.
Kemudian, dengan cara yang ganjil tapi menarik, film seperti dipotong untuk memasukkan adegan deposisi dalam persidangan tertutup. Adegan ini dengan cerdas menggambarkan betapa mudahnya uang, popularitas dan kekuasaan mengubah persahabatan menjadi pertikaian. Di sini kita juga diperkenalkan pada satu lagi tokoh kunci yang diperankan dengan sangat memorable oleh Justin Timberlake: Sean Parker, pembuat dua situs pemula yang dianggap legendaris oleh kaum geek, Napster dan Plaxo.
Parker sosok yang penuh gairah. Ia baru jadi pengangguran, tapi ngetop berkat kehebohan yang disebabkannya lewat situs-situsnya yang brilian tapi dianggap melanggar hukum itu. Ialah yang menarik minat Zuckerberg lewat celotehannya yang meyakinkan, dan menceburkannya ke dalam bisnis yang berskala lebih besar. Ia pulalah yang mengusulkan agar TheFacebook diubah saja namanya menjadi Facebook, dan markasnya dipindah ke Silicon Valley.
Lewat gayanya yang karismatis, Parker menjelaskan kenapa uang akan lebih banyak didapat dari usaha kapitalis dibandingkan dengan usaha ‘kuno’ Saverin menjajakan Facebook ke calon-calon pengiklan di New York. Ia juga mencoba – walau tidak sukses – untuk membawa Zuckerberg ke dunia yang dipenuhi pesta liar, gadis-gadis cantik, minuman keras dan kokain. Untungnya, Zuckerberg tidak tergoda dengan gaya hidup seperti itu. Pemuda ini tidak tertarik pada uang, tinggal di rumah sederhana, dan tidak kecanduan narkoba.
Film arahan David Fincher ((500) Days of Summer) ini memiliki kualitas yang langka untuk tidak hanya menjadi sepintar tokoh utamanya yang otaknya sudah brilian, tapi menjadi pintar dengan cara yang sama. Filmnya terasa sekali mempunyai keyakinan diri yang tinggi, setengah congkak dan nggak sabaran. Melesat cepat dengan dialog-dialog yang memukau, anehnya film ini menjadikan kisah yang sebenarnya sulit untuk diceritakan, jadi jelas dan memesona. Fincher dan penulisnya, Aaron Sorkin, mampu menjelaskan fenomena Facebook dalam istilah yang langsung bisa bikin kita paham. Omong-omong, itu kan alasan kenapa kita, dan 500 juta orang di luar sana, woro-woro mendaftarkan diri jadi anggota situs jejaring sosialnya?
Di era di mana dialog film terkesan bodoh dan mengalami penurunan untuk menyesuaikan diri dengan standar target audiens, dialog film ini memiliki kecepatan dan aura komedi yang mengagumkan. Eisenberg, yang biasa memainkan karakter baik hati atau pecundang, adalah magnet film ini. Sosoknya sangat pas mewakili kaum geeks yang in a way terlihat seksi karena otak mereka (dan — ayo akuilah, ladies — kemampuan mereka di masa kini untuk mendadak menjadi jutawan muda).
Daya magnet kedua digenggam oleh Timberlake. Ia mampu mengemban tugas berat sebagai Parker yang penokohannya cukup kompleks. Ia-lah yang mendorong Zuckerberg untuk menjadi pemain intelektual sekelas dirinya. Tapi ia pula lah yang menjerumuskan persahabatan Zuckerberg dan Wardo.
Andrew Garfield mampu mendampingi Eisenberg dengan mulus. Calon Spider-Man terbaru ini adalah teman yang jujur, dan sebenarnya bukan pria yang tepat untuk menjadi CFO perusahaan yang terbang landas tanpa kontribusinya. Tapi ia layak mendapatkan simpati kita.
The Social Network film yang hebat, bukan karena gayanya yang memesona atau kecerdasan visualnya, melainkan karena film ini benar-benar dibuat dengan bagus. Walaupun segala yang berhubungan dengan computer programming dan strategi web berisiko membuat kita garuk-garuk kepala, naskah cerdas yang dikerjakan Sorkin membuatnya jadi lebih jelas dan mudah dipahami. Kita tidak hanya mengikuti ceritanya, tapi tenggelam di dalamnya. Dan tunggulah sampai Anda menonton adegan akhirnya. Adegan yang penuh ironi dari si pencipta Facebook, situs jejaring sosial. Salah satu adegan paling cerdas semasa pengalaman menonton saya. |